Panggung
Sandiwara
Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah.
Ya seperti dalam lagu, dunia memang tak lebih tempat panggung digelar yang
isinya adalah adegan-adegan. Namanya saja sandiwara, ya wajar kalau semacam
pura-pura, semu. Ruang dimana manusia numpang sebentar untuk membikin dan
menjalani ceritanya masing-masing. Waktu dimana manusia menapaki peristiwa demi
peristiwa. Ajang bagi manusia untuk “acting” dengan perannya masing-masing.
Setiap kita mengambil peran. Peran anak dari bapak
ibu, sebagai suami dari istri, sebagai bapak dari anak-anak. Setiap orang
memiliki tidak hanya satu peran. Satu waktu jadi bapak, satu waktu jadi murid
dari guru, satu waktu jadi karyawan dari sebuah perusahaan, satu waktu jadi
anggota dari sebuah peergroup (gang
motor, komunitas muda gaul, perkumpulan pecinta burung ocehan, komunitas pecinta
tokek buntut cawang dlsb) dan diwaktu
yang lain jadi orang bebas merdeka tanpa beban. Semua peran menuntut kita untuk
sedemikian rupa tampil maksimal. Maksimal di sini kita mampu menjalankan apa
yang menjadi peran kita dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan kemampuan kita
yang paling pol mentog kita punya.
Berusaha sampai ketemu apa yang memang benar-benar yang dinamakan batas.
Setiap peran menuntut tanggung jawab. Wajah ganda dari
peran. Pertama peran itu tanggung jawab. Kedua peran itu juga hak. Silahkan
protes sama Sang Sutradara kalau sampai tak mendapat jatah peran. Pemeran utama
maupun figuran sama saja. Terpenting, peran yang kita perankan bagus atau
tidak. Totalitas atau setengah-setengah. Sungguh-sungguh atau hanya main-main.
Mata pandang manusia saja yang sering tertipu untuk berebut menjadi pemeran
utama. Kalau saya sih manut saja. Figuran oke, kalau dipaksa jadi pemeran utama
juga ayo. Pun kalau ndak dapat jatah peran ya Alhamdulillah. Penting Allah
ridho.
Kesadaran Aktor
Kita semua adalah aktor yang siap memainkan semua
peran. Tergantung skenarionya. Aktor yang baik itu yang alami, yang dalam
memainkan peran tidak terlihat terlalu dibuat-buat. Aktor harus jujur. Dengan
kata lain aktor yang baik adalah aktor yang bertindak sesuai sunnatullah alam.
Seperti pohon yang jujur kalau dirinya ingin mengejar cahaya, seperti air yang
selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Menjadi aktor itu sedang menjalani
suatu peran.
Selayaknya aktor yang berlaku dan bertindak sesuai skenario
yang harus dimainkan. Pembikin skenarionya tentu saja Tuhan. Kata Mbah Sujiwo
Tedjo, menariknya skenario itu kita belum tahu apa dan bagaimananya. Jadi
setiap saat kita meraba-raba diri sendiri kira-kira Tuhan berkehendak apa
terhadap diri kita. Dan justru karena tidak tahu itu, terbuka peluang bagi kita
untuk urun rembug, usul sedikit atau
banyak untuk ikut cawe-cawe bikin
scenario. Ada tawar menawar antara hamba dan Tuhannya mengenai apa dan
bagaimana peran yang sebaiknya dimainkan. Kalau memang mesti berperan jadi
orang susah ya jangan sampai susahnya sia-sia. Kalau memang mesti jomblo, ya
jangan lama-lama. Pokoknya kita usulkan ke Tuhan. Sokor-sokor kita bisa ikut
nego, mbok yang jadi jodoh kita itu yang cantik, kaya, pintar. Sokor bisa ikut
nawar umur yang tadinya 40 tahun jadi 60 atau 80 tahun. Sokor bisa ikut kasih saran ke Tuhan mbok kalau
kasih ujian hidup yang gampang-gampang saja tapi tetap keren. Pokoknya kita
“bantuin” Tuhan bikin cerita dan skenario hidup kita.
Kesadaran sebagai aktor adalah kesadaran mengalami dan
kesadaran sebagai sutradara adalah kesadaran merenungi. Dalam setiap perjalanan
hidup memang seperti itu, setelah kita berjuang habis-habisan mengalami sesuatu
maka sediakan waktu untuk merenungi. Mengalami-merenungi, mengalami-merenungi
dan mengalami-merenungi. Terus menerus seperti itu.
Kesadaran
Sutradara
Di dunia ini oleh Tuhan kita diberi kebebasan
untuk memilih apa yang menjadi kehendak
diri kita sendiri, free will. Makanya
Tuhan nyiptain surga neraka yang penentu sejatinya adalah diri kita sendiri.
Perilakunya surgawi ya silahkan ke firdaus. Perilakunya nerakawi ya monggo ke jahanam. Kejadian yang menimpa
kita sangat mungkin diluar kehendak kita, tetapi pilihan sikap kita dalam
menyikapi kejadian itu kita diberi kebebasan memilih, sikap dan tindakan yang
seperti apa yang akan kita ambil. Tuhan dalam hal ini sangat rendah hati,
membiarkan manusia memilih sendiri kehendaknya. Padahal kalau Tuhan mau, bisa
saja DIA maksa kita untuk jadi ini atau jadi itu, menjadikan kodok atau kecoa
pun sangat bisa bagi Tuhan.
Tuhan maha berkehendak, namun justru karena dia Maha
maka manusiapun diberi jatah berkehendak. Bebas memilih. Tetapi ingat kalau
milih sendiri ya ditanggung dan dijawab sendiri besok-besok. Kalau dipilihkan
ya, yang membantu memilih itu juga dilibatkan. Maka ada yang bilang mbok Tuhan
diikutkan untuk memilih. Kita minta Tuhan ikut memutuskan nasib kita. Ada
sholat istikhoroh. Memilih yang terbaik diantara yang baik dan baik. Tuhan
memberi kebebasan untuk memilih, tetapi sekaligus memberi peluang bagi manusia
kalau-kalau ada yang gak pede milih sendiri dibolehkan untuk meminta Tuhan turun
tangan memutuskan perkaranya. Tuhan kok.
Jangan tanya bisanya apa dan jangan tanya apa yang ndak bisa. Pokoknya
TOP, serba bisa. Sutradara memang begitu, multitalent.
http://thebroadcastercom.blogspot.com/2011/06/6-jenis-sutradara.html |
Sutradara atas diri sendiri itu seperti mengeluarkan
“ruh” dari dalam diri, keluar dan mengamati secara langsung diri kita sendiri, ngrogoh sukmo untuk meneliti, menjajaki
diri sendiri. Seksama memperhatikan setiap detail-detail diri. Telaten mencatat
apa saja yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan. Rajin mencari kira-kira
apa yang perlu diperbaiki, mendata apa saja kelebihan dan kekurangan. Tekun
melakukan koreksi sejauh mana tujuan-tujuan yang tercapai dan tidak kesampaian.
Dari seluruh hasil pembacaan tersebut bertujuan mengetahui siapa diri kita,
bagaimana diri kita, apa saja yang selama ini kita lakukan. Baikkah? Burukkah?
Selanjutnya adalah manajemen diri. Prinsipnya kita
bebas menata dan mengarahkan diri kita sendiri seperti layaknya sutradara.
Mungkin marah kita kurang sangar, sedih kita kurang menghayati, bahagia kita
kurang ekspresif, ikhtiar kita kurang loro
lopone, perjuangan kita kurang khusyu dan semua yang berkaitan dengan peran
yang dimainkan dapat dikoreksi dan diperbaiki. Kesadaran sutradara memberi
peluang untuk membikin cerita yang akan dijalani. Kesadaran sutradara membikin
kita tahu peta dan pola. Kita sedang berada dimana dan akan kemana, kita tahu
pasti sehingga langkah kita tidak ragu. Ada petunjuk yang jelas. Ada arah yang cetho yang akan dituju. Tidak mudah
terserimpun dan tersesat.
Hal menyenangkan ketika menyaksikan diri sendiri yang
kadang keliru, kadang terburu-buru, kadang juga wagu. Jujur di dalam menilai
diri sendiri. Bodohnya kita yang lalu-lalu, teledornya diri kita saat-saat
dulu, khilafnya langkah-langkah perjalanan hidup kita dulu. Kita beri ruang
bagi diri kita untuk mengakui apa dan
bagaimana diri kita sebenarnya. Perbaikan-perbaikan hidup dimulai dari situ.
Untuk dapat memperbaiki harus diketahui dulu apa-apa saja yang keliru. Bahasa
motivasinya, introspeksi atau mawas diri.
Kata teman saya ada seorang seniman yang saya lupa
namanya. Intinya dia mengungkapkan bahwa: “aktor yang baik adalah sutradara
yang baik dan sebaliknya sutradara yang baik adalah aktor yang baik”. Tapi dari
seluruh uraian diatas kita pun juga harus punya kesadaran selain sebagai aktor
dan sutradara, Kesadaran yang lebih tinggi dari kesadaran aktor dan kesadaran
sutradara. kesadaran bahwa kita sedang bikin filem yang diputar besok diakherat.
Ya bikin filem. Yang pemain utamanya diri kita masing-masing, selain diri kita
semua figuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar