Cari Blog Ini

Rabu, 06 Februari 2013

Kesadaran Aktor Sutradara

Panggung Sandiwara
Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Ya seperti dalam lagu, dunia memang tak lebih tempat panggung digelar yang isinya adalah adegan-adegan. Namanya saja sandiwara, ya wajar kalau semacam pura-pura, semu. Ruang dimana manusia numpang sebentar untuk membikin dan menjalani ceritanya masing-masing. Waktu dimana manusia menapaki peristiwa demi peristiwa. Ajang bagi manusia untuk “acting” dengan perannya masing-masing.
Setiap kita mengambil peran. Peran anak dari bapak ibu, sebagai suami dari istri, sebagai bapak dari anak-anak. Setiap orang memiliki tidak hanya satu peran. Satu waktu jadi bapak, satu waktu jadi murid dari guru, satu waktu jadi karyawan dari sebuah perusahaan, satu waktu jadi anggota dari sebuah peergroup (gang motor, komunitas muda gaul, perkumpulan pecinta burung ocehan, komunitas pecinta tokek buntut cawang dlsb) dan diwaktu yang lain jadi orang bebas merdeka tanpa beban. Semua peran menuntut kita untuk sedemikian rupa tampil maksimal. Maksimal di sini kita mampu menjalankan apa yang menjadi peran kita dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan kemampuan kita yang paling pol mentog kita punya. Berusaha sampai ketemu apa yang memang benar-benar yang dinamakan batas.
Setiap peran menuntut tanggung jawab. Wajah ganda dari peran. Pertama peran itu tanggung jawab. Kedua peran itu juga hak. Silahkan protes sama Sang Sutradara kalau sampai tak mendapat jatah peran. Pemeran utama maupun figuran sama saja. Terpenting, peran yang kita perankan bagus atau tidak. Totalitas atau setengah-setengah. Sungguh-sungguh atau hanya main-main. Mata pandang manusia saja yang sering tertipu untuk berebut menjadi pemeran utama. Kalau saya sih manut saja. Figuran oke, kalau dipaksa jadi pemeran utama juga ayo. Pun kalau ndak dapat jatah peran ya Alhamdulillah. Penting Allah ridho.

Kesadaran Aktor
Kita semua adalah aktor yang siap memainkan semua peran. Tergantung skenarionya. Aktor yang baik itu yang alami, yang dalam memainkan peran tidak terlihat terlalu dibuat-buat. Aktor harus jujur. Dengan kata lain aktor yang baik adalah aktor yang bertindak sesuai sunnatullah alam. Seperti pohon yang jujur kalau dirinya ingin mengejar cahaya, seperti air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Menjadi aktor itu sedang menjalani suatu peran.
Selayaknya aktor yang berlaku dan bertindak sesuai skenario yang harus dimainkan. Pembikin skenarionya tentu saja Tuhan. Kata Mbah Sujiwo Tedjo, menariknya skenario itu kita belum tahu apa dan bagaimananya. Jadi setiap saat kita meraba-raba diri sendiri kira-kira Tuhan berkehendak apa terhadap diri kita. Dan justru karena tidak tahu itu, terbuka peluang bagi kita untuk urun rembug, usul sedikit atau banyak untuk ikut cawe-cawe bikin scenario. Ada tawar menawar antara hamba dan Tuhannya mengenai apa dan bagaimana peran yang sebaiknya dimainkan. Kalau memang mesti berperan jadi orang susah ya jangan sampai susahnya sia-sia. Kalau memang mesti jomblo, ya jangan lama-lama. Pokoknya kita usulkan ke Tuhan. Sokor-sokor kita bisa ikut nego, mbok yang jadi jodoh kita itu yang cantik, kaya, pintar. Sokor bisa ikut nawar umur yang tadinya 40 tahun jadi 60 atau 80 tahun. Sokor  bisa ikut kasih saran ke Tuhan mbok kalau kasih ujian hidup yang gampang-gampang saja tapi tetap keren. Pokoknya kita “bantuin” Tuhan bikin cerita dan skenario hidup kita.
Kesadaran sebagai aktor adalah kesadaran mengalami dan kesadaran sebagai sutradara adalah kesadaran merenungi. Dalam setiap perjalanan hidup memang seperti itu, setelah kita berjuang habis-habisan mengalami sesuatu maka sediakan waktu untuk merenungi. Mengalami-merenungi, mengalami-merenungi dan mengalami-merenungi. Terus menerus seperti itu.

Kesadaran Sutradara
Di dunia ini oleh Tuhan kita diberi kebebasan untuk  memilih apa yang menjadi kehendak diri kita sendiri, free will. Makanya Tuhan nyiptain surga neraka yang penentu sejatinya adalah diri kita sendiri. Perilakunya surgawi ya silahkan ke firdaus. Perilakunya nerakawi ya monggo ke jahanam. Kejadian yang menimpa kita sangat mungkin diluar kehendak kita, tetapi pilihan sikap kita dalam menyikapi kejadian itu kita diberi kebebasan memilih, sikap dan tindakan yang seperti apa yang akan kita ambil. Tuhan dalam hal ini sangat rendah hati, membiarkan manusia memilih sendiri kehendaknya. Padahal kalau Tuhan mau, bisa saja DIA maksa kita untuk jadi ini atau jadi itu, menjadikan kodok atau kecoa pun sangat bisa bagi Tuhan.
Tuhan maha berkehendak, namun justru karena dia Maha maka manusiapun diberi jatah berkehendak. Bebas memilih. Tetapi ingat kalau milih sendiri ya ditanggung dan dijawab sendiri besok-besok. Kalau dipilihkan ya, yang membantu memilih itu juga dilibatkan. Maka ada yang bilang mbok Tuhan diikutkan untuk memilih. Kita minta Tuhan ikut memutuskan nasib kita. Ada sholat istikhoroh. Memilih yang terbaik diantara yang baik dan baik. Tuhan memberi kebebasan untuk memilih, tetapi sekaligus memberi peluang bagi manusia kalau-kalau ada yang gak pede milih sendiri dibolehkan untuk meminta Tuhan turun tangan memutuskan perkaranya. Tuhan kok.  Jangan tanya bisanya apa dan jangan tanya apa yang ndak bisa. Pokoknya TOP, serba bisa. Sutradara memang begitu, multitalent.
http://thebroadcastercom.blogspot.com/2011/06/6-jenis-sutradara.html

Sutradara atas diri sendiri itu seperti mengeluarkan “ruh” dari dalam diri, keluar dan mengamati secara langsung diri kita sendiri, ngrogoh sukmo untuk meneliti, menjajaki diri sendiri. Seksama memperhatikan setiap detail-detail diri. Telaten mencatat apa saja yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan. Rajin mencari kira-kira apa yang perlu diperbaiki, mendata apa saja kelebihan dan kekurangan. Tekun melakukan koreksi sejauh mana tujuan-tujuan yang tercapai dan tidak kesampaian. Dari seluruh hasil pembacaan tersebut bertujuan mengetahui siapa diri kita, bagaimana diri kita, apa saja yang selama ini kita lakukan. Baikkah? Burukkah?
Selanjutnya adalah manajemen diri. Prinsipnya kita bebas menata dan mengarahkan diri kita sendiri seperti layaknya sutradara. Mungkin marah kita kurang sangar, sedih kita kurang menghayati, bahagia kita kurang ekspresif, ikhtiar kita kurang loro lopone, perjuangan kita kurang khusyu dan semua yang berkaitan dengan peran yang dimainkan dapat dikoreksi dan diperbaiki. Kesadaran sutradara memberi peluang untuk membikin cerita yang akan dijalani. Kesadaran sutradara membikin kita tahu peta dan pola. Kita sedang berada dimana dan akan kemana, kita tahu pasti sehingga langkah kita tidak ragu. Ada petunjuk yang jelas. Ada arah yang cetho yang akan dituju. Tidak mudah terserimpun dan tersesat.
Hal menyenangkan ketika menyaksikan diri sendiri yang kadang keliru, kadang terburu-buru, kadang juga wagu. Jujur di dalam menilai diri sendiri. Bodohnya kita yang lalu-lalu, teledornya diri kita saat-saat dulu, khilafnya langkah-langkah perjalanan hidup kita dulu. Kita beri ruang bagi diri kita untuk mengakui  apa dan bagaimana diri kita sebenarnya. Perbaikan-perbaikan hidup dimulai dari situ. Untuk dapat memperbaiki harus diketahui dulu apa-apa saja yang keliru. Bahasa motivasinya, introspeksi atau mawas diri.
Kata teman saya ada seorang seniman yang saya lupa namanya. Intinya dia mengungkapkan bahwa: “aktor yang baik adalah sutradara yang baik dan sebaliknya sutradara yang baik adalah aktor yang baik”. Tapi dari seluruh uraian diatas kita pun juga harus punya kesadaran selain sebagai aktor dan sutradara, Kesadaran yang lebih tinggi dari kesadaran aktor dan kesadaran sutradara. kesadaran bahwa kita sedang bikin filem yang diputar besok diakherat. Ya bikin filem. Yang pemain utamanya diri kita masing-masing, selain diri kita semua figuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar