Cari Blog Ini

Sabtu, 02 Februari 2013

JURUS-JURUS YANG DIPERSIAP(A)KAN

(1)
SIAP ORA DADI OPO-OPO, SIAP DADI OPO-OPO
Menjadi manusia memang dituntut untuk memiliki berbagai kesiapan-kesiapan. Untuk siap ora dadi opo-opo, yang perlu dan wajib dimiliki adalah keberanian untuk hanya ngendelke Allah dan Rasul sebagai teman yang nyawiji. Kalau sebenarnya banyak diantara kita yang memiliki skill yang tidak kalah bahkan jauh lebih mumpuni dibandingkan lurah, bupati, ataupun pejabat yang sedang duduk dikursi pemerintahan sekarang, kita pun harus lego-lilo kalau sampai detik ini hanya diperkenankan untuk hanya berurusan dengan anak-bojo dan orang-orang kecil yang dipinggirkan. Bahkan siap sepenuhnya untuk memposisikan diri tidak hanya mandiri dalam mengurus diri sendiri untuk umbah-umbah, ngliwet, isah-isah dengan tangan sendiri. Ataupun keporo malah menantang diri dengan meng-kawahcondrodimuko-i diri menjadi PRT bagi keluarga dan siapapun yang ditemui.
Sebagai manusia yang mengemban amanah khalifatullah sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa tugas utama kita adalah menjadi manusia itu sendiri. Yang untuk saat ini banyak dikerdilkan secara parsial untuk menjadi sekelumit profesi yang kemudian dikejar-kejar. Sebut saja dokter, dosen, PNS, bupati, tukang insinyur, kondektur, akuntan dan berbagai profesi sebagai manusia modern yang sangat bersifat spesifik-spesialis.
Siap dadi opo-opo tentu juga tak kalah tantangannya dibanding ora dadi opo-opo. Siap dadi opo-opo tentu dipersyarati dengan kemampuan dan kesediaan untuk senantiasa belajar apa saja, dimana saja dari waktu ke waktu. Karena banyak profesi yang akan diemban. Gambaran yang pas Kanjeng Nabi sajalah. Yang dengan bangga kita dapat menyebutnya sebagai ahli cinta tapi sekaligus juga ahli gulat, pakar keromantisan dalam keluarga tapi sekaligus juga pemberani di medan perang, penuh kelembutan namun sekaligus juga menjadi presiden yang disegani kawan maupun lawan. Seorang yang sudi njahit klambine dewe tapi sekaligus orang yang paling bersejarah dan pemecah rekor dalam pengubah peradaban paling singkat dengan skala imbas perubahan yang ngedhap-edhapi lintas geografis-dimensional serta bersifat lintas generasi dan warna kulit.
Siap dadi opo-opo adalah tuntutan logis sebagai orang yang mau lulus menjadi manusia. Manusia yang utuh-universal yang sanggup untuk mengemban dadi opo-opo namun sekaligus juga sanggup untuk ora dadi opo-opo selama yang dilakukan adalah menebar kebaikan-kebergunaan serta meminimalisir kesia-siaan bahkan amit-amit jabang bayi jangan sampai membebani siapapun dan apapun.

(2)
SIAP ORA KARO SOPO-SOPO, SIAP KARO SOPO-SOPO
Siap ora karo sopo-sopo jangan diartikan kita ini terus sendiri dalam arti yang sebenarnya sendiri. Sebab sesendiri-sendirinya kita mesti ada yang menemani kita. Bolehlah dengan akrab bin mesra kita bilang sohibubaiti dan imammuhayati. Jadi bersemayam dalam hati kita Sang Tuan Rumah Allah dan Sang penjaga pintunya, Rasulullah. Ini adalah posisi ora karo sopo-sopo yang paling mentok. Karena mau tak mau kita ini the part of Allah. Mau digimanakan juga inalillahiwainailaihi rojiun (dari dan ke Allah).
Jadi kalau suatu waktu kita mesti bermunfarid dalam hidup ini ya mesti mateg aji kita siap sedia. Paling pol nasib kita tak jauh-jauh dari tidak direken padahal paling berjasa, tidak diapresiasi padahal banyak yang hasil dari ide kita, ditinggalkan bagai manis disesep, sepah dibuang, tidak dimaturnuwuni setelah susah payah kita menolong bahkan kita juga mesti siap dituduh minimal dicurigai, jangan-jangan kita ini maling, padahal sudah nolong. Dan beragam wujud peminggiran serta pencuekan pada kadar yang memprihatinkan.
Sementara untuk Siap karo sopo-sopo adalah posisi dimana kita siap bersanding dan bekerjasama dengan siapapun dan apapun dari manapun. Kita siap untuk membuka diri seluas dan selebar mungkin dan tidak khawatir karena tentunya dibekali dengan daya imun yang mencakup banyak sisi diri kita. Imun psikologis, imun social, imun budaya, imun ekonomi dan sebagainya agar diri kita sanggup untuk ngeli dan tidak keli. Sanggup untuk hari ini dipertemukan dengan orang yang penting-terpandang dan hari berikutnya bercanda mesra dengan pakdhe bakul angkringan atau tukang becak terminal.  Jangan kan dengan manusia kita pun siap dengan segala jenis hubungan termasuk kepada alam dan makhluk Allah yang lain.

(3)
SIAP ORA NGGEGEM OPO-OPO, SIAP NGGEGEM OPO-OPO
Banyak orang yang tidak sabar jika ora nggegem opo-opo, padahal Kanjeng Nabi dengan sangat bermartabat memilih tidak nggegem opo-opo di dunia ini. Kalau mau sangat gampang bagi beliau untuk nggegem tadi. Hampir mayoritas orang yang tidak nggegem entah karena kepepet atau dengan kemauan yang menggebu-gebu dalam doanya minta agar diberi sesuatu yang bisa digenggam. Ora nggegem opo-opo memang perlu dipersyarati kekayaan batin yang tanpa batas. Yang sanggup merancang sendiri kebahagiaan walaupun keterbatasan menjadi pakaian sehari-hari. Mampu mendesain setiap kelemahan menjadi keunggulan yang sembodo. Ora nggegem opo-opo berarti siap mamanggul derita menjadi barang mainan setiap harinya. Makna lainnya ialah kita siap untuk tidak dititipi oleh Allah. Bagi sebagian orang tidak dititipi ini justru menjadi ladang syukur dikarenakan menyempitnya terjadi kemungkinan bertindak kufur. Namun yang kemudian memacu kita untuk ekstra berhati-hati dan mesti lebih kreatif adalah manakala kita diposisikan nggegem opo-opo.
Nggegem opo-opo berarti ada sesuatu yang harus-mutlak yang dikelola dan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan kita. Makanya digenggam, bukan dipegang atau dimiliki, agar ada proses dan kemantapan bahwa kita yang menentukan mau dipakai atau dibuang opo-opo itu tadi serta bukannya kita yang menghamba dengan opo-opo.
Opo-opo itu bisa berujud kekuasaan, harta dan segala bentuk apapun yang sifatnya amanah dari Allah. Amanah yang tentunya mesti dikelola dengan bijaksana. Semaksimal mungkin kita peras habis sisi-sisi kemanfaatan segala sesuatu yang dititipkan ke kita. Mau besar atau kecil, mau banyak atau sedikit, mau luas atau sempit tetap kita pergunakan dengan selalu bersinggungan terhadap kemaslahatan.
Banyak kehancuran dimulai dari ketidakmampuan mengelola titipan. Bukan hanya itu, banyak yang justru dengan sengaja dan bangga menyalahpergunakan opo-opo yang diamanahkan itu. Alhasil bukan kemanfaatan bersama tetapi kehancuran bersama yang disebabkan oleh segelintir manusia yang tidak bertanggung jawab.
Banyak pula yang lupa diri ketika dipasrahi keluasan dan kemudahan. Masih banyak diantara kita yang terlalu gagap dengan berbagai macam sajian yang ditawarkan oleh dunia ke muka kita. Bayangkan pula skala titipan yang diberikan. Kalau satu keluarga  yang menjadi titipan paling pol yang paling disengsarakan adalah anak istri, lah kalau satu desa tentu seluruh warga desa yang dirugikan, lah kalau satu kabupaten, satu provinsi, satu negara, bisa apes itu seluruh penduduk dan warganya.
Bedakan para sahabat yang lebih ridho mengucap inalillah setelah diberi jabatan dengan manusia sekarang yang mati-matian mencari jabatan dan setelah dapat yang terlontar adalah Alhamdulillah. Alhamdulillah dengkulmu mlicet. Tidakkah mereka sadar apa yang sedang dihadapi dan kelak yang akan dipertanggungjawabi. Tapi itulah dagelan yang paling enak kita nikmati dengan rokok dan minum kopi sambil menyimpan rasa kemropok yang menggelora dihati.

(4)
SIAP ORA KANGGO NGOPO-NGOPO, SIAP KANGGO NGOPO-NGOPO
Ora kanggo ngopo-ngopo adalah kondisi dimana sudah mati-matian kita berusaha menjadi manusia yang kanggo namun tetap saja kita tak berguna apapun karena apa yang kita lakukan tak merubah apapun. Kalau sudah seperti ini kahanane, yang terpenting bagi kita adalah usaha untuk terus istiqomah nandur kebecikan. Itulah yang tak boleh berhenti atau nglokro hanya karena belum memeroleh hasil. Atau bahkan sering usaha kebaikan yang sedang diusahakan malahan berkali-kali dibikin kagol oleh lingkungan, kita pun mesti siap untuk itu semua. Allah saja yang sudah dari berabad-abad yang lalu melalui kitab suci dengan keindahan dan kandungan makna sekaligus petunjuk yang dijamin kevaliditasannya saja masih tidak terlalu banyak berguna bagi  kebanyakan manusai sekarang. Apalagi kita yang makan saja masih bergantung sama Allah. Rasa gelo, mangkel, gembreget, dongkol, gonduk biarkan menjadi bumbu di dalam perjalanan untuk mencapai kanggo ngopo-ngopo dan sekali-kali semoga tidak menyurutkan hasrat kita nandur kebecikan demi kebecikan.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat yang lainnya. Itulah pitutur indah nan dalem yang terlontar dari mulut Kanjeng Nabi. Jadi, Siapkah diri kita jika suatu ketika dipakai sebagai apa saja. Sekali waktu menjadi ban serep bagi orang lain, sekali waktu menjadi keranjang sampah, sekali waktu  menjadi bal bekel, sekali waktu menjadi ganjel lawang, sekali waktu menjadi wong-wongan sawah. Siapkah diri kita menjemput kemanfaatan demi kemanfaatan, menggali potensi diri sampai mentog limitasi kemampuan kita untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang lain. Siapkah kita memerankan peran apapun tanpa basa-basi atau plinthat-plinthut memilih peran yang kita inginkan. Beranikah kita membuang polaritas suka-duka, senang-tidak senang dan menggantinya dengan harus-tidak harus di dalam melakukan segala sesuatu. Ini berarti juga terhadap suatu pekerjaan yang tidak kita sukai boleh jadi tetap kita kerjakan karena memang harus dilakukan walau sebenarnya kita tidak menginginkannya.

(5)
SIAP ORA NENG KONO-KONO, SIAP NENG KONO-KONO
Adakah yang lebih indah selain langkah kita yang diperjalankan oleh Allah. Kemana kita melangkah selalu dalam lindunganNYA. Seperti masa kecil Kanjeng Nabi yang dipayungi awan kemana Beliau pergi. Atau kedahsyatan isro mi’raj yang membuat kita terkagum-kagum. Bolehlah dan silahkan saja dimana saja kita ditempatkan asalkan tempat yang kita diami, tanah yang kita pijak, udara yang kita hirup dibawah pengasuhan Allah.
Boleh jadi ora neng kono-kono diri kita diutus oleh Allah hanya berada pada satu wilayah tertentu. Ibarat haji ya kita budidoyo kemabrurannya tanpa pergi ke Mekkah. Jangan meri-lah kita karena tidak bisa belajar ke Yunani untuk belajar etika. Karena meminjam kata sujiwo tejo memang disanalah paling tepat belajar tragedi (atau tragedi dari Yunani…..dalam lirik panggung sandiwara) dan untuk etika kita sudah punya wayang untuk diodel-odel ke-etika-annya.
Ora neng kono-kono bisa pula diartikan dimana diri kita seperti Ali yang dipasrahi oleh Kanjeng Nabi untuk menggantikan tidur di kamar Beliau.  Dengan kesiapan menanggung resiko yang tidak ringan. Namun tetap mendukung lajunya kereta kemaslahatan.
Siap neng kono-kono merupakan tugas mulia ketika kita diperjalankan oleh Allah untuk menjalankan misi ke manapun. Kalau Kanjeng Nabi saja bilang tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina adalah perlambang bagaimana kita dituntut untuk tidak hanya cinta tanah air sebagai tanah kelahiran kita saja. Tetapi seluruh tanah-tanah air dimanapun adalah tempat yang disediakan oleh Allah bagi kita semua untuk mendayagunakan sebaik-baiknya bagi sebenar-benarnya rahmatan lil’alamin. Mau di Jombang, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Mandar atau Hongkong kita mesti siap. Ibarat para pelamar kerja CPNS yang siap ditempatkan dimanapun seluruh wilayah Indonesia, maka dengan apapun kita siap ditempatkan dibelahan bumi manapun bahkan kalau terpaksa diekspor ke alam lain, kita juga mesti siap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar