Cari Blog Ini

Senin, 11 Februari 2013

NIAT


Sejauh mana ikhtiar manusia itu hanya sampai di niat. Innamal a’malu binniat, sesungguhnya segala sesuatu ditentukan oleh niatnya. Sederhana sepertinya, akan tetapi di dalam niat itu sendiri ada proses panjang, sampai seseorang punya niat atau berniat melakukan sesuatu. Niat tidak serta merta terjadi. Tanpa sadar atau dengan penuh kesadaran, seseorang yang berniat pasti punya tujuan yang hendak dicapai. Semakin besar, semakin kuat niat dan tujuan yang hendak dicapai, menentukan seberapa konsisten dan daya tahan orang tersebut ketika menjalaninya.
Niat terwujud dari proses dialektika panjang antara pikiran dan perasaan yang di eksekusi oleh akal manusia. Lingkungan di luar dirinya menjadi cermin untuk melihat dan menakar mengapa berniat melakukan sesuatu mengapa tidak berniat melakukan sesuatu. Imam An nawawi bilang “Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk”. [i] Kalau memakai teorinya Sigmund Freud, maka niat adalah proses dialog panjang antara id, ego dan superego sehingga menghasilkan permufakatan untuk melakukan sesuatu sebagai keputusan bersama. Kalau dijawa niat mungkin biasa disebut dengan krenteg, tak sekedar keinginan semata atau karep semata, tetapi keinginan yang sudah diolah, ditimbang baik-buruknya, benar-salahnya sehingga keinginan itu diproses sedemikian rupa menjadi tekad. Lebih dahsyat lagi ketika tekad itu sudah sedemikian bulat, namun ada hambatan besar dari luar yang menghalang-halangi, maka akibatnya tekad itu bermetamorfosis menjadi nekad. Ini yang gawat tapi juga dahsyat.
Proses lahirnya niat, andaikan niat itu bayi maka sebelumnya harus melalui proses perkawinan, bertemunya sperma dan ovum, menjadi segumpal daging, kurang lebih 9 bulan dalam kandungan sampai tiba waktunya, lahir. Andaikan niat itu kupu-kupu, maka harus melalui telur, ulat, kepompong sampai lahirlah kupu-kupu. Andaikan niat itu nasi maka harus melalui benih, menjadi padi, menjadi beras, setelah itupun mesti diolah lagi, diliwet sampai menjadi nasi yang bisa dimakan. Niatpun untuk lahir sejatinya membutuhkan proses panjang. Niat datang tidak serta merta dan ujug-ujug.
Niat itu sangat awal dalam sebuah perjalanan, namun sangat berpengaruh di dalam setiap episode demi episode perjalanan dan akhir dari perjalanan hidup manusia. Sampai sampai Tuhan pun sudah melakukan penghitungan amal manusia dari niatnya. Kalau niatnya baik dinilai satu kebaikan meski belum terlaksana, tetapi untuk niat buruk tidak dinilai kejahatannya selama belum terlaksana. Itulah salah satu japemethenya Tuhan ke manusia, memberi peluang kebaikan yang jauh terbuka lebar dibanding peluang kejahatan. Lebih jelas Kanjeng Nabi mengurai: siapa yang berniat untuk berbuat kebaikan tetapi tidak jadi mengerjakannya, maka akan dituliskan untuknya 1 kebaikan (pahala) yang sempurna, jika dia benar-benar mengerjakannya, maka Allah akan menuliskan untuknya 10 hingga 700 kebaikan, bahkan boleh lebih banyak lagi. Sesiapa yang berniat untuk berbuat kejahatan tetapi tidak jadi mengerjakannya, maka akan dituliskan untuknya 1 kebaikan yang sempurna, jika dia benar-benar mengerjakannya, maka Allah akan menuliskan 1 keburukan (dosa) untuknya.” [ii]
Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri ketika berniat akan melakukan sesuatu. Dari mana asal muasal lahirnya niat kita tersebut. Apa saja alasan yang membuat kita berniat melakukan sesuatu itu. Apakah datangnya niat itu tiba-tiba ataukah terencana. Memilih sendiri ataukah dipilihkan niat kita itu.
Sedemikian besarkah arti niat bagi perjalanan hidup manusia sehingga perlu untuk sekedar dibahas dan dipelajari. Kira-kira begitulah. Niat merupakan upaya besar manusia di dalam berbuat sesuatu. Niat yang menentukan penilaian Tuhan terhadap apa saja yang dilakukan manusia. Mata manusia bisa saja tertipu melihat orang yang baik yang tampak jahat dan orang yang jahat tampak baik, tetapi Tuhan tidak akan tertipu. Dan niatlah salat satu parameter penting apakah seseorang itu benar-benar baik atau pura-pura baik, apakah seseorang itu jahat beneran atau pura-pura.
Niat itu seperti akar. Yang jika mati akar, maka batang, cabang, daun dan buahnya akan ikut mati.  Akar yang menentukan buahnya. Pahlawan bisa saja seketika menjadi pecundang jika ketahuan niatnya bukan menolong tetapi ingin pamer. Orang bersedekah bisa saja tak ubahnya seperti rentenir ketika niatnya selain mengharap ridho Tuhannya.
Niat itu sepertinya gampang tetapi apakah benar-benar gampang. Bisa gampang atau susah. Perkara kecil yang mungkin kecil tetapi mungkin juga besar. Niat, kalau tidak hati-hati berniat bisa-bisa kita kecelik. Tidak sampai tujuan dengan selamat. Ruginya bisa bertubi-tubi, tetapi untungnya bisa berkarung-karung, hanya gara-gara niat.
Setiap niat menuntut untuk diamalkan. Kalau sehari-hari kita bilang “ah dasar memang gak niat, kamu, makanya serba tidak beres”. Niat itu dinamakan dengan niat karena darinya menuntut untuk direalisasikan. Andaikan ada hal yang lebih kuat yang menghalangi terealisasinya niat baik, maka Tuhan tetap menilainya kebaikan. Sudah maksud hati ingin menunaikan tetapi ada halangan yang memaksa kita untuk tak melakukan maka niat itu sejatinya sudah dilaksanakan.
Niat itu sangat dinamis seperti sifat manusia yang tidak terus stabil. Kadang me-malaikat, kadang ke-setan-an. Niatpun juga demikian dinamis maka harus dijaga dan diingat selalu apa yang menjadi niat kita diawal perjalanan. Kalau sudah berniat baik, dirawat agar tahan goda, agar tak gampang terjebak bujuk rayu, kokoh tak mudah goyah. Niat baik itu seperti pemuda yang lagi meledak-ledaknya pengen kawin yang kena fatwa lataqrobuzina, hasrat menyimpang besar, jadi penjagaannya pun ekstra, mendekat saja tidak boleh. Kalau ngeyel, siap-siap aja terseret menjadi niat yang tidak baik dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Me-reka-ulang niat pun juga mesti dilakukan, kalau ditengarai niat kita mengandung keburukan, bahkan yang subhat sekalipun. Penataan kembali kesemrawutan dari niat yang macam-macam. Menjadikan yang semrawut itu menjadi Sirotolmustaqim, tak sekedar jalan lurus, namun juga konsistensi diri terhadap niat baik, yang sangat memungkinkan di jalan lurus itu pun kadang berbelok. Dalam belokan itu niat kita tetap lurus. Di dalam lenggak-lenggoknya jalan yang dilalui, diri kita tak lupa kemana tujuan kita, kemana niat kita semula.
Niat itu pilihan, terserah kita memilih apa. Pilihannya bebas, tetapi ketika sudah memilih, kita bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Kita akan memikul apa yang sudah diniatkan dari awal. Yang diniatkan kebaikan akan tumbuh menjadi keindahan. Sebaliknya yang diniatkan kejahatan akan mati dan membusuk. Seperti sabda Kanjeng Nabi:  “Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan[iii].
Kalau memang niat kita baik, percaya diri saja. Percaya, pasti ada jalan keluar jika yang dihadapi itu masalah. Percaya saja pasti akan terbit cahaya jika yang dihadapi itu kegelapan. Percaya saja, pasti akan gembira jika yang dihadapi itu kesusahan. Percaya saja, pasti akan menemukan jalan jika yang dihadapai itu ketersesatan. Percaya saja, pasti akan happy end jika yang dihadapi adalah cerita memilukan. Niat baik akan membuka pintu penyelesaian. Niat baik akan banyak menolong langkah-langkah kita. Sebagaimana Muhammad Ainun Nadjib berujar: “Atas setiap niat baik hamba, Allah bukan hanya memuji tetapi juga bertanggung jawab untuk memfasilitasinya.”


[i] http://www.maknamutiarakata.com/2011/07/niat-adalah-ukuran.html
[ii] http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2012/02/niat-baik-dapat-pahala.html
[iii] http://abunamira.wordpress.com/2012/07/27/kaidah-1-niat-adalah-syarat-semua-amal/

Rabu, 06 Februari 2013

Kesadaran Aktor Sutradara

Panggung Sandiwara
Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Ya seperti dalam lagu, dunia memang tak lebih tempat panggung digelar yang isinya adalah adegan-adegan. Namanya saja sandiwara, ya wajar kalau semacam pura-pura, semu. Ruang dimana manusia numpang sebentar untuk membikin dan menjalani ceritanya masing-masing. Waktu dimana manusia menapaki peristiwa demi peristiwa. Ajang bagi manusia untuk “acting” dengan perannya masing-masing.
Setiap kita mengambil peran. Peran anak dari bapak ibu, sebagai suami dari istri, sebagai bapak dari anak-anak. Setiap orang memiliki tidak hanya satu peran. Satu waktu jadi bapak, satu waktu jadi murid dari guru, satu waktu jadi karyawan dari sebuah perusahaan, satu waktu jadi anggota dari sebuah peergroup (gang motor, komunitas muda gaul, perkumpulan pecinta burung ocehan, komunitas pecinta tokek buntut cawang dlsb) dan diwaktu yang lain jadi orang bebas merdeka tanpa beban. Semua peran menuntut kita untuk sedemikian rupa tampil maksimal. Maksimal di sini kita mampu menjalankan apa yang menjadi peran kita dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan kemampuan kita yang paling pol mentog kita punya. Berusaha sampai ketemu apa yang memang benar-benar yang dinamakan batas.
Setiap peran menuntut tanggung jawab. Wajah ganda dari peran. Pertama peran itu tanggung jawab. Kedua peran itu juga hak. Silahkan protes sama Sang Sutradara kalau sampai tak mendapat jatah peran. Pemeran utama maupun figuran sama saja. Terpenting, peran yang kita perankan bagus atau tidak. Totalitas atau setengah-setengah. Sungguh-sungguh atau hanya main-main. Mata pandang manusia saja yang sering tertipu untuk berebut menjadi pemeran utama. Kalau saya sih manut saja. Figuran oke, kalau dipaksa jadi pemeran utama juga ayo. Pun kalau ndak dapat jatah peran ya Alhamdulillah. Penting Allah ridho.

Kesadaran Aktor
Kita semua adalah aktor yang siap memainkan semua peran. Tergantung skenarionya. Aktor yang baik itu yang alami, yang dalam memainkan peran tidak terlihat terlalu dibuat-buat. Aktor harus jujur. Dengan kata lain aktor yang baik adalah aktor yang bertindak sesuai sunnatullah alam. Seperti pohon yang jujur kalau dirinya ingin mengejar cahaya, seperti air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Menjadi aktor itu sedang menjalani suatu peran.
Selayaknya aktor yang berlaku dan bertindak sesuai skenario yang harus dimainkan. Pembikin skenarionya tentu saja Tuhan. Kata Mbah Sujiwo Tedjo, menariknya skenario itu kita belum tahu apa dan bagaimananya. Jadi setiap saat kita meraba-raba diri sendiri kira-kira Tuhan berkehendak apa terhadap diri kita. Dan justru karena tidak tahu itu, terbuka peluang bagi kita untuk urun rembug, usul sedikit atau banyak untuk ikut cawe-cawe bikin scenario. Ada tawar menawar antara hamba dan Tuhannya mengenai apa dan bagaimana peran yang sebaiknya dimainkan. Kalau memang mesti berperan jadi orang susah ya jangan sampai susahnya sia-sia. Kalau memang mesti jomblo, ya jangan lama-lama. Pokoknya kita usulkan ke Tuhan. Sokor-sokor kita bisa ikut nego, mbok yang jadi jodoh kita itu yang cantik, kaya, pintar. Sokor bisa ikut nawar umur yang tadinya 40 tahun jadi 60 atau 80 tahun. Sokor  bisa ikut kasih saran ke Tuhan mbok kalau kasih ujian hidup yang gampang-gampang saja tapi tetap keren. Pokoknya kita “bantuin” Tuhan bikin cerita dan skenario hidup kita.
Kesadaran sebagai aktor adalah kesadaran mengalami dan kesadaran sebagai sutradara adalah kesadaran merenungi. Dalam setiap perjalanan hidup memang seperti itu, setelah kita berjuang habis-habisan mengalami sesuatu maka sediakan waktu untuk merenungi. Mengalami-merenungi, mengalami-merenungi dan mengalami-merenungi. Terus menerus seperti itu.

Kesadaran Sutradara
Di dunia ini oleh Tuhan kita diberi kebebasan untuk  memilih apa yang menjadi kehendak diri kita sendiri, free will. Makanya Tuhan nyiptain surga neraka yang penentu sejatinya adalah diri kita sendiri. Perilakunya surgawi ya silahkan ke firdaus. Perilakunya nerakawi ya monggo ke jahanam. Kejadian yang menimpa kita sangat mungkin diluar kehendak kita, tetapi pilihan sikap kita dalam menyikapi kejadian itu kita diberi kebebasan memilih, sikap dan tindakan yang seperti apa yang akan kita ambil. Tuhan dalam hal ini sangat rendah hati, membiarkan manusia memilih sendiri kehendaknya. Padahal kalau Tuhan mau, bisa saja DIA maksa kita untuk jadi ini atau jadi itu, menjadikan kodok atau kecoa pun sangat bisa bagi Tuhan.
Tuhan maha berkehendak, namun justru karena dia Maha maka manusiapun diberi jatah berkehendak. Bebas memilih. Tetapi ingat kalau milih sendiri ya ditanggung dan dijawab sendiri besok-besok. Kalau dipilihkan ya, yang membantu memilih itu juga dilibatkan. Maka ada yang bilang mbok Tuhan diikutkan untuk memilih. Kita minta Tuhan ikut memutuskan nasib kita. Ada sholat istikhoroh. Memilih yang terbaik diantara yang baik dan baik. Tuhan memberi kebebasan untuk memilih, tetapi sekaligus memberi peluang bagi manusia kalau-kalau ada yang gak pede milih sendiri dibolehkan untuk meminta Tuhan turun tangan memutuskan perkaranya. Tuhan kok.  Jangan tanya bisanya apa dan jangan tanya apa yang ndak bisa. Pokoknya TOP, serba bisa. Sutradara memang begitu, multitalent.
http://thebroadcastercom.blogspot.com/2011/06/6-jenis-sutradara.html

Sutradara atas diri sendiri itu seperti mengeluarkan “ruh” dari dalam diri, keluar dan mengamati secara langsung diri kita sendiri, ngrogoh sukmo untuk meneliti, menjajaki diri sendiri. Seksama memperhatikan setiap detail-detail diri. Telaten mencatat apa saja yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan. Rajin mencari kira-kira apa yang perlu diperbaiki, mendata apa saja kelebihan dan kekurangan. Tekun melakukan koreksi sejauh mana tujuan-tujuan yang tercapai dan tidak kesampaian. Dari seluruh hasil pembacaan tersebut bertujuan mengetahui siapa diri kita, bagaimana diri kita, apa saja yang selama ini kita lakukan. Baikkah? Burukkah?
Selanjutnya adalah manajemen diri. Prinsipnya kita bebas menata dan mengarahkan diri kita sendiri seperti layaknya sutradara. Mungkin marah kita kurang sangar, sedih kita kurang menghayati, bahagia kita kurang ekspresif, ikhtiar kita kurang loro lopone, perjuangan kita kurang khusyu dan semua yang berkaitan dengan peran yang dimainkan dapat dikoreksi dan diperbaiki. Kesadaran sutradara memberi peluang untuk membikin cerita yang akan dijalani. Kesadaran sutradara membikin kita tahu peta dan pola. Kita sedang berada dimana dan akan kemana, kita tahu pasti sehingga langkah kita tidak ragu. Ada petunjuk yang jelas. Ada arah yang cetho yang akan dituju. Tidak mudah terserimpun dan tersesat.
Hal menyenangkan ketika menyaksikan diri sendiri yang kadang keliru, kadang terburu-buru, kadang juga wagu. Jujur di dalam menilai diri sendiri. Bodohnya kita yang lalu-lalu, teledornya diri kita saat-saat dulu, khilafnya langkah-langkah perjalanan hidup kita dulu. Kita beri ruang bagi diri kita untuk mengakui  apa dan bagaimana diri kita sebenarnya. Perbaikan-perbaikan hidup dimulai dari situ. Untuk dapat memperbaiki harus diketahui dulu apa-apa saja yang keliru. Bahasa motivasinya, introspeksi atau mawas diri.
Kata teman saya ada seorang seniman yang saya lupa namanya. Intinya dia mengungkapkan bahwa: “aktor yang baik adalah sutradara yang baik dan sebaliknya sutradara yang baik adalah aktor yang baik”. Tapi dari seluruh uraian diatas kita pun juga harus punya kesadaran selain sebagai aktor dan sutradara, Kesadaran yang lebih tinggi dari kesadaran aktor dan kesadaran sutradara. kesadaran bahwa kita sedang bikin filem yang diputar besok diakherat. Ya bikin filem. Yang pemain utamanya diri kita masing-masing, selain diri kita semua figuran.

Senin, 04 Februari 2013

Belajar Tanpa Mengenal Batas


Kanjeng Nabi mensabdakan, "carilah ilmu dari lahir sampai ke liang lahat." Dari lahir ceprot, sampai kita koit (mati). Belajar ndak ada habis-habisnya. Yang jelas saya sangat berbaik sangka dengan sabda yang satu ini. Belajar apa saja tentu akan membawa manfaat. Pasti berguna. Tak perlu ragu dalam belajar. Dan jangan membebani ilmu dengan apapun. Ilmu saja, sudah bermanfaat kok, bahkan ketika belum dimanfaatkan. Ilmu yang ketika dibagi malah bertambah. Ilmu yang jika salah satu pintunya kita buka, maka terbukalah seribu pintu yang menunggu untuk dimasuki.
Ada yang bilang cari ilmu dari dulu kok gak kaya-kaya. Yang salah ilmunya atau orang yang tidak bisa memanfaatkan ilmunya. Atau malah ilmunya yang kurang. Orang pun banyak yang kemudian terjebak, sekolah bukan lagi cari ilmu, tapi cari kerja. Maksudnya biar ketika lulus dapat mudah mencari pekerjaan. Ujung-ujungnya bagaimana ilmu yang didapat, bisa untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. tak dapat dipungkiri, industri memang seperti itu. Ibarat sekolah itu pabrik yang produknya adalah mesin manusia siap kerja. Sehingga orang sekolah terpaksa. Cari ilmu kepepet. Mereka kehilangan gairah, nikmatnya memperoleh ilmu, indahnya mengamalkan ilmu, syahdunya merasakan manfaat ilmu yang dipelajari. Ilmu diperlakukan seperti sapi perahan, bukan sebagai jalan untuk meraih kemuliaan-kemuliaan. Gak heran orang berhenti belajar ketika sudah lulus sekolah, malas mencari ilmu lagi karena sudah dapat pekerjaan. Buat apa belajar. Apa perlunya belajar kalau sudah bekerja
Padahal inovasi sangat penting dan selalu dibutuhkan. Manusia butuh tumbuh, tidak hanya fisiknya, tapi juga mental dan spiritualnya serta intelektualitasnya. Manusia  yang jangkep, yang sigap menghadapi setiap tantangan jaman. Tidak asal keli tetapi sanggup ngeli. Keli itu tidak ada lagi kendali untuk tidak keli lagi. Sementara ngeli, masih punya kesanggupan untuk tidak keli. Manusia yang memiliki antibodi kuat. Tidak gampang ditipu, tidak mudah diiming-imingi. Sangat mandiri dan percaya diri tetapi juga mampu mengayomi. Manusia yang tidak hanya bertambah tua tetapi juga bertambah dewasa.
Andaikan semua orang tahu manfaat ilmu, dahsyatnya ilmu, ajaibnya ilmu maka akan seperti sahabat atau tabiin yang rela berjalan berpuluh-puluh kilometer demi mendapatkan satu ilmu. Rela dirampok hartabendanya asalkan jangan dirampas buku-bukunya. Masih ingat cerita guru pas SD dulu, bahwa dijepang ketika di bom yang ditanyakan kaisarnya adalah berapa jumlah guru yang tersisa. Betapa tinggi dan terhormat kedudukan orang yang berilmu. Kurang lebih seperti itu yang diajarkan guru-guru yang intinya bahwa ilmu menjadi bahan penting bagi kemajuan suatu bangsa.
Ilmu dan belajar seperti sudah satu paket. Perintah pertama Allah juga iqro. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Belajar yang atas nama Allah. Setiap yang dipelajari direligiusisasikan ke Tuhan. Paham asal-muasal dan proses lahirnya setiap ilmu. Dan hanya dengan berbaik kepada Sang Pemilik jagad ilmu kita bisa lebih mudah paham. IlmuNYA yang tak habis-habis, yang tujuh samudera lebih, itu ilmunya. Maka setetes itu milik semua manusia. Betapa sedikit sekali dan betapa masih terbuka sangat lebar bagi perkembangan ilmu. Jangan khawatir ilmu mandeg. Atau stok hidayah yang defisit. Hidayah dan ilmu Allah masih sangat melimpah. Jibril masih setia menyampaikan pendaran-pendaran wahyunya. Semua masih bergentayangan disekitar kita, hanya kita mampu atau tidak menyediakan wadah dan menangkap ilmu yang betebaran tersebut.
Sangat indah dan maha luas ilmu Allah, dalam Luqman: 27; “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Jadi sangat menggairahkan setiap saat menggali keajaiban demi keajaiban ilmu Allah. Baik dalam kitab suci maupun di kehidupan nyata dan alam semesta. Perhubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Pasangan dengan pasangannya karena setiap elemen di dunia ini pasti ada pasangannya. Yang tentu saja, jika konsisten akan terus menguak dan menemukan rahasia-rahasia ilmu yang masih terpendam. Sangat mungkin bagi manusia untuk membuka ilmu yang sama sekali baru, atas ijin Allah.
Pentingnya setiap manusia membiasakan untuk membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan. Membaca tidak hanya tulisan, tapi apapun saja. Membaca situasi, membaca suara, membaca pola dlsb. Membaca yang komprehensif, yang utuh, tidak parsial. Membaca yang tampak dan yang tidak tampak. Membaca dengan kesadaran sinau. Menyertakan tujuan ingin paham sesuatu yang dibaca. Menguak misteri ketidaktahuan. Membaca sebagai pintu masuk ilmu, agar lebih mendalam, lebih melebar, lebih meninggi dan lebih meluas. Ilmu yang terus tumbuh dan tumbuh. Yang berhentinya kalau sudah mati.
Belajar itu selalu dibutuhkan siapa saja dalam waktu seperti apapun. Apapan posisi dan kondisi kita. Karena selalu saja ada wilayah gelap manusia dan butuh penerangan. Ilmulah yang akan menerangi karena ilmu itu cahaya. Bedanya orang berilmu lebih mudah di dalam mengerjakan sesuatu. Menarik kata Allah dalam Ar Ra’du: 16: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang.”  Orang yang berilmu, semakin tambah ilmunya semakin berani. Semakin tambah ilmunya semakin tenang dan percaya diri. Mentalnya, spiritualnya, output sosialnya semakin baik seiring bertambah ilmunya. Jadi orang yang rajin belajar harus semakin baik. Kalau tidak, pasti ada yang salah dengan apa yang dipelajarinya dan caranya mempelajari.
Dari jaman adam hingga terakhir manusia diciptakan, orang berilmu tetap menduduki kedudukan yang tinggi. Baik dimata manusia maupun dimata Allah. Orang berilmu akan banyak dimintai tolong oleh yang lain. Orang berilmu cenderung lebih berguna dan diharapkan kedatangannya dimana-mana. Meskipun setiap zaman memiliki perbedaan bidang ilmunya. Ada yang perdukunannya yang maju, ada yang ilmu kedokterannya yang maju, ada yang ilmu berkuasanya yang maju, ada yang ilmu teknologinya yang maju, ada yang ilmu batinnya yang maju dlsb. Semua yang berilmu dihormati dan dicari.
Masalah sangat bisa diselesaikan dengan ilmu yang benar terhadap masalah yang dihadapi. Masalah tak ubahnya sarang pencarian dan penggalian ilmu yang baik. Sebab selain informasi, di dalam masalah yang dihadapi ada juga kesan yang ditimbulkan. Kesan ini yang akan memudahkan diri kita untuk mengingatnya menjadi pemahaman agar suatu ketika menhadapi masalah yang sama kita tidak susah-susah lagi mencari referensi karena kita sudah pernah mengalami. Masalah dan ujian ada, datang untuk menaikkan kelas manusia, men munggah derajate, men dhuwur martabate.
Ilmu bisa didapat darimana saja, dari pengalaman, dari perkataan orang lain, dari tulisan orang, dari buku, dari film, dari kejadian, dari anak kecil dari apapun saja. Hanya saja tanpa kita mengolahnya terlebih dahulu menjadi sebuah pemahaman maka yang kita tangkap hanyalah informasi. Informasi itu akan tetap jadi informasi atau jadi yang lain tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Informasi tersebut mau ditingkatkan menjadi pengetahuan saja atau dinaikkan menjadi ilmu bahkan bisa dinaikkan lagi menjadi prinsip hidup. Semua tergantung kepandaian kita mengolah dan menggarap informasi-informasi disekitar kita.
Banyak hal berlalu yang tinggal berlalu saja. Lolos saja tanpa ada makna sama sekali. Disitulah pentingnya memaknai setiap kejadian dan setiap informasi. Ada yang menjadi hikmah yang kita petik setelah kita mengalami sesuatu pengalaman. Ada proses internalisasi nilai-nilai yang berhasil kita tangkap sebagai ilmu. Dari situ pula ada hal dan ilmu yang bisa kita bagikan ke yang lain. Berbagi pengalaman dengan yang lain. Saling bertukar pengalaman, saling bercermin diri satu dengan yang lain.
Banyak “PR” yang harus dikerjakan oleh setiap manusia yang lahir di dunia untuk kemudian pergi dari dunia tetap menjadi manusia. Ketelatenan menemu satu demi satu rahmat ilmu Allah yang berseliweran. Rajin mencari ilmu yang memudahkan kehidupan umat manusia. Tekun menerjemahkan firman Allah ke dalam kehidupan sehari-hari. Gigih dalam memperpendek jarak Tuhan dengan hambaNYA. Jujur dalam membuat Tuhan tak hanya melulu “diatas” tetapi juga dekat, karib yang membantu mengiringi setiap upaya membangun peradaban manusia yang lebih beradab. Tak hanya melibatkan Allah, karena memang sejatinya Allah pasti terlibat. Lebih dari itu, manusia harus menyadarinya, sadar bahwa setiap helai peristiwa selalu ada unsur Allahnya. Pada akhirnya mau tidak mau ilmu menjadi makanan wajib bagi setiap orang yang akan merubah keadaan dari gelap ke terang benderang. Dan kata simbah-simbah dulu “ngelmu iku kelakoni kanthi laku.” 

Sabtu, 02 Februari 2013

JURUS-JURUS YANG DIPERSIAP(A)KAN

(1)
SIAP ORA DADI OPO-OPO, SIAP DADI OPO-OPO
Menjadi manusia memang dituntut untuk memiliki berbagai kesiapan-kesiapan. Untuk siap ora dadi opo-opo, yang perlu dan wajib dimiliki adalah keberanian untuk hanya ngendelke Allah dan Rasul sebagai teman yang nyawiji. Kalau sebenarnya banyak diantara kita yang memiliki skill yang tidak kalah bahkan jauh lebih mumpuni dibandingkan lurah, bupati, ataupun pejabat yang sedang duduk dikursi pemerintahan sekarang, kita pun harus lego-lilo kalau sampai detik ini hanya diperkenankan untuk hanya berurusan dengan anak-bojo dan orang-orang kecil yang dipinggirkan. Bahkan siap sepenuhnya untuk memposisikan diri tidak hanya mandiri dalam mengurus diri sendiri untuk umbah-umbah, ngliwet, isah-isah dengan tangan sendiri. Ataupun keporo malah menantang diri dengan meng-kawahcondrodimuko-i diri menjadi PRT bagi keluarga dan siapapun yang ditemui.
Sebagai manusia yang mengemban amanah khalifatullah sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa tugas utama kita adalah menjadi manusia itu sendiri. Yang untuk saat ini banyak dikerdilkan secara parsial untuk menjadi sekelumit profesi yang kemudian dikejar-kejar. Sebut saja dokter, dosen, PNS, bupati, tukang insinyur, kondektur, akuntan dan berbagai profesi sebagai manusia modern yang sangat bersifat spesifik-spesialis.
Siap dadi opo-opo tentu juga tak kalah tantangannya dibanding ora dadi opo-opo. Siap dadi opo-opo tentu dipersyarati dengan kemampuan dan kesediaan untuk senantiasa belajar apa saja, dimana saja dari waktu ke waktu. Karena banyak profesi yang akan diemban. Gambaran yang pas Kanjeng Nabi sajalah. Yang dengan bangga kita dapat menyebutnya sebagai ahli cinta tapi sekaligus juga ahli gulat, pakar keromantisan dalam keluarga tapi sekaligus juga pemberani di medan perang, penuh kelembutan namun sekaligus juga menjadi presiden yang disegani kawan maupun lawan. Seorang yang sudi njahit klambine dewe tapi sekaligus orang yang paling bersejarah dan pemecah rekor dalam pengubah peradaban paling singkat dengan skala imbas perubahan yang ngedhap-edhapi lintas geografis-dimensional serta bersifat lintas generasi dan warna kulit.
Siap dadi opo-opo adalah tuntutan logis sebagai orang yang mau lulus menjadi manusia. Manusia yang utuh-universal yang sanggup untuk mengemban dadi opo-opo namun sekaligus juga sanggup untuk ora dadi opo-opo selama yang dilakukan adalah menebar kebaikan-kebergunaan serta meminimalisir kesia-siaan bahkan amit-amit jabang bayi jangan sampai membebani siapapun dan apapun.

(2)
SIAP ORA KARO SOPO-SOPO, SIAP KARO SOPO-SOPO
Siap ora karo sopo-sopo jangan diartikan kita ini terus sendiri dalam arti yang sebenarnya sendiri. Sebab sesendiri-sendirinya kita mesti ada yang menemani kita. Bolehlah dengan akrab bin mesra kita bilang sohibubaiti dan imammuhayati. Jadi bersemayam dalam hati kita Sang Tuan Rumah Allah dan Sang penjaga pintunya, Rasulullah. Ini adalah posisi ora karo sopo-sopo yang paling mentok. Karena mau tak mau kita ini the part of Allah. Mau digimanakan juga inalillahiwainailaihi rojiun (dari dan ke Allah).
Jadi kalau suatu waktu kita mesti bermunfarid dalam hidup ini ya mesti mateg aji kita siap sedia. Paling pol nasib kita tak jauh-jauh dari tidak direken padahal paling berjasa, tidak diapresiasi padahal banyak yang hasil dari ide kita, ditinggalkan bagai manis disesep, sepah dibuang, tidak dimaturnuwuni setelah susah payah kita menolong bahkan kita juga mesti siap dituduh minimal dicurigai, jangan-jangan kita ini maling, padahal sudah nolong. Dan beragam wujud peminggiran serta pencuekan pada kadar yang memprihatinkan.
Sementara untuk Siap karo sopo-sopo adalah posisi dimana kita siap bersanding dan bekerjasama dengan siapapun dan apapun dari manapun. Kita siap untuk membuka diri seluas dan selebar mungkin dan tidak khawatir karena tentunya dibekali dengan daya imun yang mencakup banyak sisi diri kita. Imun psikologis, imun social, imun budaya, imun ekonomi dan sebagainya agar diri kita sanggup untuk ngeli dan tidak keli. Sanggup untuk hari ini dipertemukan dengan orang yang penting-terpandang dan hari berikutnya bercanda mesra dengan pakdhe bakul angkringan atau tukang becak terminal.  Jangan kan dengan manusia kita pun siap dengan segala jenis hubungan termasuk kepada alam dan makhluk Allah yang lain.

(3)
SIAP ORA NGGEGEM OPO-OPO, SIAP NGGEGEM OPO-OPO
Banyak orang yang tidak sabar jika ora nggegem opo-opo, padahal Kanjeng Nabi dengan sangat bermartabat memilih tidak nggegem opo-opo di dunia ini. Kalau mau sangat gampang bagi beliau untuk nggegem tadi. Hampir mayoritas orang yang tidak nggegem entah karena kepepet atau dengan kemauan yang menggebu-gebu dalam doanya minta agar diberi sesuatu yang bisa digenggam. Ora nggegem opo-opo memang perlu dipersyarati kekayaan batin yang tanpa batas. Yang sanggup merancang sendiri kebahagiaan walaupun keterbatasan menjadi pakaian sehari-hari. Mampu mendesain setiap kelemahan menjadi keunggulan yang sembodo. Ora nggegem opo-opo berarti siap mamanggul derita menjadi barang mainan setiap harinya. Makna lainnya ialah kita siap untuk tidak dititipi oleh Allah. Bagi sebagian orang tidak dititipi ini justru menjadi ladang syukur dikarenakan menyempitnya terjadi kemungkinan bertindak kufur. Namun yang kemudian memacu kita untuk ekstra berhati-hati dan mesti lebih kreatif adalah manakala kita diposisikan nggegem opo-opo.
Nggegem opo-opo berarti ada sesuatu yang harus-mutlak yang dikelola dan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan kita. Makanya digenggam, bukan dipegang atau dimiliki, agar ada proses dan kemantapan bahwa kita yang menentukan mau dipakai atau dibuang opo-opo itu tadi serta bukannya kita yang menghamba dengan opo-opo.
Opo-opo itu bisa berujud kekuasaan, harta dan segala bentuk apapun yang sifatnya amanah dari Allah. Amanah yang tentunya mesti dikelola dengan bijaksana. Semaksimal mungkin kita peras habis sisi-sisi kemanfaatan segala sesuatu yang dititipkan ke kita. Mau besar atau kecil, mau banyak atau sedikit, mau luas atau sempit tetap kita pergunakan dengan selalu bersinggungan terhadap kemaslahatan.
Banyak kehancuran dimulai dari ketidakmampuan mengelola titipan. Bukan hanya itu, banyak yang justru dengan sengaja dan bangga menyalahpergunakan opo-opo yang diamanahkan itu. Alhasil bukan kemanfaatan bersama tetapi kehancuran bersama yang disebabkan oleh segelintir manusia yang tidak bertanggung jawab.
Banyak pula yang lupa diri ketika dipasrahi keluasan dan kemudahan. Masih banyak diantara kita yang terlalu gagap dengan berbagai macam sajian yang ditawarkan oleh dunia ke muka kita. Bayangkan pula skala titipan yang diberikan. Kalau satu keluarga  yang menjadi titipan paling pol yang paling disengsarakan adalah anak istri, lah kalau satu desa tentu seluruh warga desa yang dirugikan, lah kalau satu kabupaten, satu provinsi, satu negara, bisa apes itu seluruh penduduk dan warganya.
Bedakan para sahabat yang lebih ridho mengucap inalillah setelah diberi jabatan dengan manusia sekarang yang mati-matian mencari jabatan dan setelah dapat yang terlontar adalah Alhamdulillah. Alhamdulillah dengkulmu mlicet. Tidakkah mereka sadar apa yang sedang dihadapi dan kelak yang akan dipertanggungjawabi. Tapi itulah dagelan yang paling enak kita nikmati dengan rokok dan minum kopi sambil menyimpan rasa kemropok yang menggelora dihati.

(4)
SIAP ORA KANGGO NGOPO-NGOPO, SIAP KANGGO NGOPO-NGOPO
Ora kanggo ngopo-ngopo adalah kondisi dimana sudah mati-matian kita berusaha menjadi manusia yang kanggo namun tetap saja kita tak berguna apapun karena apa yang kita lakukan tak merubah apapun. Kalau sudah seperti ini kahanane, yang terpenting bagi kita adalah usaha untuk terus istiqomah nandur kebecikan. Itulah yang tak boleh berhenti atau nglokro hanya karena belum memeroleh hasil. Atau bahkan sering usaha kebaikan yang sedang diusahakan malahan berkali-kali dibikin kagol oleh lingkungan, kita pun mesti siap untuk itu semua. Allah saja yang sudah dari berabad-abad yang lalu melalui kitab suci dengan keindahan dan kandungan makna sekaligus petunjuk yang dijamin kevaliditasannya saja masih tidak terlalu banyak berguna bagi  kebanyakan manusai sekarang. Apalagi kita yang makan saja masih bergantung sama Allah. Rasa gelo, mangkel, gembreget, dongkol, gonduk biarkan menjadi bumbu di dalam perjalanan untuk mencapai kanggo ngopo-ngopo dan sekali-kali semoga tidak menyurutkan hasrat kita nandur kebecikan demi kebecikan.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat yang lainnya. Itulah pitutur indah nan dalem yang terlontar dari mulut Kanjeng Nabi. Jadi, Siapkah diri kita jika suatu ketika dipakai sebagai apa saja. Sekali waktu menjadi ban serep bagi orang lain, sekali waktu menjadi keranjang sampah, sekali waktu  menjadi bal bekel, sekali waktu menjadi ganjel lawang, sekali waktu menjadi wong-wongan sawah. Siapkah diri kita menjemput kemanfaatan demi kemanfaatan, menggali potensi diri sampai mentog limitasi kemampuan kita untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang lain. Siapkah kita memerankan peran apapun tanpa basa-basi atau plinthat-plinthut memilih peran yang kita inginkan. Beranikah kita membuang polaritas suka-duka, senang-tidak senang dan menggantinya dengan harus-tidak harus di dalam melakukan segala sesuatu. Ini berarti juga terhadap suatu pekerjaan yang tidak kita sukai boleh jadi tetap kita kerjakan karena memang harus dilakukan walau sebenarnya kita tidak menginginkannya.

(5)
SIAP ORA NENG KONO-KONO, SIAP NENG KONO-KONO
Adakah yang lebih indah selain langkah kita yang diperjalankan oleh Allah. Kemana kita melangkah selalu dalam lindunganNYA. Seperti masa kecil Kanjeng Nabi yang dipayungi awan kemana Beliau pergi. Atau kedahsyatan isro mi’raj yang membuat kita terkagum-kagum. Bolehlah dan silahkan saja dimana saja kita ditempatkan asalkan tempat yang kita diami, tanah yang kita pijak, udara yang kita hirup dibawah pengasuhan Allah.
Boleh jadi ora neng kono-kono diri kita diutus oleh Allah hanya berada pada satu wilayah tertentu. Ibarat haji ya kita budidoyo kemabrurannya tanpa pergi ke Mekkah. Jangan meri-lah kita karena tidak bisa belajar ke Yunani untuk belajar etika. Karena meminjam kata sujiwo tejo memang disanalah paling tepat belajar tragedi (atau tragedi dari Yunani…..dalam lirik panggung sandiwara) dan untuk etika kita sudah punya wayang untuk diodel-odel ke-etika-annya.
Ora neng kono-kono bisa pula diartikan dimana diri kita seperti Ali yang dipasrahi oleh Kanjeng Nabi untuk menggantikan tidur di kamar Beliau.  Dengan kesiapan menanggung resiko yang tidak ringan. Namun tetap mendukung lajunya kereta kemaslahatan.
Siap neng kono-kono merupakan tugas mulia ketika kita diperjalankan oleh Allah untuk menjalankan misi ke manapun. Kalau Kanjeng Nabi saja bilang tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina adalah perlambang bagaimana kita dituntut untuk tidak hanya cinta tanah air sebagai tanah kelahiran kita saja. Tetapi seluruh tanah-tanah air dimanapun adalah tempat yang disediakan oleh Allah bagi kita semua untuk mendayagunakan sebaik-baiknya bagi sebenar-benarnya rahmatan lil’alamin. Mau di Jombang, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Mandar atau Hongkong kita mesti siap. Ibarat para pelamar kerja CPNS yang siap ditempatkan dimanapun seluruh wilayah Indonesia, maka dengan apapun kita siap ditempatkan dibelahan bumi manapun bahkan kalau terpaksa diekspor ke alam lain, kita juga mesti siap.