Sejauh mana ikhtiar manusia itu hanya sampai di niat. Innamal a’malu binniat, sesungguhnya
segala sesuatu ditentukan oleh niatnya. Sederhana sepertinya, akan tetapi di
dalam niat itu sendiri ada proses panjang, sampai seseorang punya niat atau
berniat melakukan sesuatu. Niat tidak serta merta terjadi. Tanpa sadar atau dengan
penuh kesadaran, seseorang yang berniat pasti punya tujuan yang hendak dicapai.
Semakin besar, semakin kuat niat dan tujuan yang hendak dicapai, menentukan
seberapa konsisten dan daya tahan orang tersebut ketika menjalaninya.
Niat terwujud dari proses dialektika panjang antara
pikiran dan perasaan yang di eksekusi oleh akal manusia. Lingkungan di luar
dirinya menjadi cermin untuk melihat dan menakar mengapa berniat melakukan
sesuatu mengapa tidak berniat melakukan sesuatu. Imam An nawawi bilang “Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya
suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu
benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk”. [i] Kalau memakai teorinya Sigmund Freud,
maka niat adalah proses dialog panjang antara id, ego dan superego sehingga
menghasilkan permufakatan untuk melakukan sesuatu sebagai keputusan bersama. Kalau
dijawa niat mungkin biasa disebut dengan krenteg,
tak sekedar keinginan semata atau karep
semata, tetapi keinginan yang sudah diolah, ditimbang baik-buruknya,
benar-salahnya sehingga keinginan itu diproses sedemikian rupa menjadi tekad.
Lebih dahsyat lagi ketika tekad itu sudah sedemikian bulat, namun ada hambatan
besar dari luar yang menghalang-halangi, maka akibatnya tekad itu
bermetamorfosis menjadi nekad. Ini yang gawat tapi juga dahsyat.
Proses lahirnya niat, andaikan niat itu bayi maka
sebelumnya harus melalui proses perkawinan, bertemunya sperma dan ovum, menjadi
segumpal daging, kurang lebih 9 bulan dalam kandungan sampai tiba waktunya,
lahir. Andaikan niat itu kupu-kupu, maka harus melalui telur, ulat, kepompong
sampai lahirlah kupu-kupu. Andaikan niat itu nasi maka harus melalui benih,
menjadi padi, menjadi beras, setelah itupun mesti diolah lagi, diliwet sampai
menjadi nasi yang bisa dimakan. Niatpun untuk lahir sejatinya membutuhkan
proses panjang. Niat datang tidak serta merta dan ujug-ujug.
Niat itu sangat awal dalam sebuah perjalanan, namun
sangat berpengaruh di dalam setiap episode demi episode perjalanan dan akhir
dari perjalanan hidup manusia. Sampai sampai Tuhan pun sudah melakukan
penghitungan amal manusia dari niatnya. Kalau niatnya baik dinilai satu
kebaikan meski belum terlaksana, tetapi untuk niat buruk tidak dinilai
kejahatannya selama belum terlaksana. Itulah salah satu japemethenya Tuhan ke manusia, memberi peluang kebaikan yang jauh
terbuka lebar dibanding peluang kejahatan. Lebih jelas Kanjeng Nabi mengurai: “siapa yang berniat untuk berbuat kebaikan tetapi tidak
jadi mengerjakannya, maka akan dituliskan untuknya 1 kebaikan (pahala) yang
sempurna, jika dia benar-benar mengerjakannya, maka Allah akan menuliskan
untuknya 10 hingga 700 kebaikan, bahkan boleh lebih banyak lagi. Sesiapa yang
berniat untuk berbuat kejahatan tetapi tidak jadi mengerjakannya, maka akan
dituliskan untuknya 1 kebaikan yang sempurna, jika dia benar-benar
mengerjakannya, maka Allah akan menuliskan 1 keburukan (dosa) untuknya.” [ii]
Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri
ketika berniat akan melakukan sesuatu. Dari mana asal muasal lahirnya niat kita
tersebut. Apa saja alasan yang membuat kita berniat melakukan sesuatu itu.
Apakah datangnya niat itu tiba-tiba ataukah terencana. Memilih sendiri ataukah
dipilihkan niat kita itu.
Sedemikian besarkah arti niat bagi perjalanan hidup
manusia sehingga perlu untuk sekedar dibahas dan dipelajari. Kira-kira
begitulah. Niat merupakan upaya besar manusia di dalam berbuat sesuatu. Niat
yang menentukan penilaian Tuhan terhadap apa saja yang dilakukan manusia. Mata
manusia bisa saja tertipu melihat orang yang baik yang tampak jahat dan orang
yang jahat tampak baik, tetapi Tuhan tidak akan tertipu. Dan niatlah salat satu
parameter penting apakah seseorang itu benar-benar baik atau pura-pura baik,
apakah seseorang itu jahat beneran atau pura-pura.
Niat itu seperti akar. Yang jika mati akar, maka
batang, cabang, daun dan buahnya akan ikut mati. Akar yang menentukan buahnya. Pahlawan bisa
saja seketika menjadi pecundang jika ketahuan niatnya bukan menolong tetapi
ingin pamer. Orang bersedekah bisa saja tak ubahnya seperti rentenir ketika
niatnya selain mengharap ridho Tuhannya.
Niat itu sepertinya gampang tetapi apakah benar-benar
gampang. Bisa gampang atau susah. Perkara kecil yang mungkin kecil tetapi
mungkin juga besar. Niat, kalau tidak hati-hati berniat bisa-bisa kita kecelik.
Tidak sampai tujuan dengan selamat. Ruginya bisa bertubi-tubi, tetapi untungnya
bisa berkarung-karung, hanya gara-gara niat.
Setiap niat menuntut untuk diamalkan. Kalau sehari-hari
kita bilang “ah dasar memang gak niat, kamu, makanya serba tidak beres”. Niat itu
dinamakan dengan niat karena darinya menuntut untuk direalisasikan. Andaikan ada
hal yang lebih kuat yang menghalangi terealisasinya niat baik, maka Tuhan tetap
menilainya kebaikan. Sudah maksud hati ingin menunaikan tetapi ada halangan
yang memaksa kita untuk tak melakukan maka niat itu sejatinya sudah
dilaksanakan.
Niat itu sangat dinamis seperti sifat manusia yang
tidak terus stabil. Kadang me-malaikat, kadang ke-setan-an. Niatpun juga
demikian dinamis maka harus dijaga dan diingat selalu apa yang menjadi niat
kita diawal perjalanan. Kalau sudah berniat baik, dirawat agar tahan goda, agar
tak gampang terjebak bujuk rayu, kokoh tak mudah goyah. Niat baik itu seperti
pemuda yang lagi meledak-ledaknya pengen kawin yang kena fatwa lataqrobuzina, hasrat menyimpang besar,
jadi penjagaannya pun ekstra, mendekat saja tidak boleh. Kalau ngeyel, siap-siap aja terseret menjadi
niat yang tidak baik dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Me-reka-ulang niat pun juga mesti dilakukan, kalau
ditengarai niat kita mengandung keburukan, bahkan yang subhat sekalipun. Penataan kembali kesemrawutan dari niat yang
macam-macam. Menjadikan yang semrawut itu menjadi Sirotolmustaqim, tak sekedar jalan lurus, namun juga konsistensi
diri terhadap niat baik, yang sangat memungkinkan di jalan lurus itu pun kadang
berbelok. Dalam belokan itu niat kita tetap lurus. Di dalam lenggak-lenggoknya
jalan yang dilalui, diri kita tak lupa kemana tujuan kita, kemana niat kita
semula.
Niat itu pilihan, terserah kita memilih apa.
Pilihannya bebas, tetapi ketika sudah memilih, kita bertanggungjawab atas
pilihan tersebut. Kita akan memikul apa yang sudah diniatkan dari awal. Yang
diniatkan kebaikan akan tumbuh menjadi keindahan. Sebaliknya yang diniatkan
kejahatan akan mati dan membusuk. Seperti sabda Kanjeng Nabi: “Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”[iii].
Kalau memang niat kita baik, percaya diri saja. Percaya,
pasti ada jalan keluar jika yang dihadapi itu masalah. Percaya saja pasti akan
terbit cahaya jika yang dihadapi itu kegelapan. Percaya saja, pasti akan
gembira jika yang dihadapi itu kesusahan. Percaya saja, pasti akan menemukan
jalan jika yang dihadapai itu ketersesatan. Percaya saja, pasti akan happy end jika yang dihadapi adalah
cerita memilukan. Niat baik akan membuka pintu penyelesaian. Niat baik akan
banyak menolong langkah-langkah kita. Sebagaimana Muhammad Ainun Nadjib berujar:
“Atas setiap niat baik hamba, Allah bukan
hanya memuji tetapi juga bertanggung jawab untuk memfasilitasinya.”