Geliat
Perubahan
Perubahan itu tak hanya perlu tapi
wajib. Tak sekedar berubah, kalau sekedarnya semua pasti berubah. Yang dimaksud
berubah adalah adanya kesadaran arah, mana kebaikan mana keburukan, mana
kebangkitan mana keterpurukan sehingga perubahan yang dilakukan adalah
perubahan yang ada ujungnya, yang tidak ngoyoworo waton berubah.
Kalau memang hidup ini cukup bahagia
thok maka tak akan ada cerita dimana seseorang mati karena membela nilai
tertentu, mempertahankan keyakinannya, sebab manusia sanggup hidup diatas
bahagia, manusia sanggup menggapai kesejatian, dan untuk itu manusia rela
menggantinya dengan jiwa dan raganya. Manusia memang merindu segala sesuatu
secara sebenar-benarnya, kangen untuk menyentuh kebenaran pada lapisan
terdalam, kebenaran yang terdekat dengan sumbernya kebenaran.
Kebenaran disandingkan dengan
kebaikan, serta disandingkan dengan keindahan, diatasnya ada kemuliaan. Manusia
hidup harus mengejar jalan kemuliaan, margo mulyo. Siapa yang mengharuskan, tak
lain ruh masing-masing manusia. Kebutuhan ruh adalah menggapai kemuliaan. Karena
ruh akan sangat malu, kelak, sehingga dengan kesadarannya sendiri minta dihukum
sama Allah untuk dimasukkan di neraka untuk mengembalikan kembali kemuliaannya.
Ruh itu mulia, karena langsung ditiupkan oleh Allah sendiri, karena menjadi
rahasiaNYA.
Setiap saat manusia berperang dengan
dirinya sendiri, mengatasi kemauan dirinya yang tak jarang malah berpotensi dan
memiliki kecenderungan justru menghancurkan dirinya sendiri. Setiap waktu
manusia bergerilnya mengendalikan dirinya sendiri untuk tak menabrak, apa yang
menjadi fatwa hatinya sendiri. Setiap detik manusia diuji kewaspadaannya untuk
tetap setia bertahan atau malah jebol melampiaskan. Manusia menjalani ujian demi ujian saban
harinya. Sampai lulus menjadi manusia.
Manusia selalu perlu diruwat, bukan
hanya untuk membuang sial, tetapi juga meruwat diri sendiri agar selalu
terhindar dari bencana besar namun juga bahkan dari yang paling halus,
terhindar dari pikiran-pikiran yang mengarah kepada kerusakan. Meruwat diri
dengan selalu memelihara kesadaran menemu kebenaran, menguak lapis-lapis
kebenaran, sehingga tidak mandeg daya juangnya, makin kreatif perjuangannya.
Kuncinya
Iqro
Kondisi manusia seringkali memaksanya
untuk mau tidak mau harus belajar sesuatu. Bisa saja tiba-tiba seseorang
dihadapkan pada permasalahan yang pada saat tertentu membuatnya pusing tujuh
keliling, bingung gak ketulung, kacau balau yang biking ngegalau. Kalau sudah
seperti itu mau tidak mau usaha pemecahan harus segera dicari dan ditemukan.
Kecuali seseorang memang memiliki daya tahan batin yang kuat dan tangguh, untuk
tetap membiarkan masalah yang ada disekitarnya tetap menjadi masalah bahkan
tumbuh menjadi masalah yang lebih besar dari waktu ke waktu.
Tuhan punya multi-skenario kepada
hamba-hambaNYA untuk “mendidik” dan memberi kurikulum unik bagi setiap orang.
Dalam kurikulum tersebut, seseorang diuji, ditantang, dihadapkan pada sesuatu
yang pasti tak melebihi kapasitas dan kemampuannya. Namun begitu pada
masing-masing seringkali bahkan selalu ditemukan dengan persoalan yang
seolah-olah tak bisa diselesaikan. Padahal ya memang begitu, asalkan seseorang
yang sedang diuji mau dan bersedia mencari jalan keluar, maka akan ketemu.
Sebab saat ujian diberikan bersamaan dengan itu diberikan jalan keluarnya.
Jadi jangan kaget dengan
rintangan-rintangan, jangan heran dengan halangan-halangan yang kadang-kadang
atau malah sering menghadang langkah perjalanan kita sebagai manusia. Ya memang
begitu, manusia hidup tujuannya memang menaikkan derajatnya, sehingga tidak
melorot dan anjlok ke derajat asfalasafilin atau lebih hina, lebih rendah dari
binatang. Justru dengan segala jenis ujian manusia dibantu untuk segera menjadi
ahsanitakwim, sebaik-baik ciptaan, untuk menjadi manusia yang insan kamil,
lebih mulia dari malaikat sekalipun.
Iqro dan belajar, itu kuncinya. Tidak
berhenti berproses memungut ilmu-ilmu yang berserakan. Tidak menyerah mengukir
di hati asma Allah dan kekasih tercinta Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Segitiga
cinta antara kita, manusia dengan Allah dan Rasulullah. Sebuah bangunan kuat di
dalam diri kita, yang senantiasa mengawal, mengiringi setiap derap langkah
proses kita. Tanpa itu semua maka keberadaan kita di dunia, sehebat apapun,
maka sama saja tak berarti apa-apa, sebesar apapun capaian kita.
Dunia
dalam Genggaman
Banyak hal yang tidak kita sukai,
namun malah sangat memberi manfaat bagi perjalanan kita. Sebaliknya, banyak hal
yang kita sukai, namun tetap kita lakukan, rutin, padahal sesuatu itu tidak
bermanfaat bahkan merugikan diri kita. Sesuatu yang baik akan menghasilkan hal
yang baik ketika mengolahnya benar. Beras, benar mengolahnya makan akan jadi
nasi yang pulen, nikmat. Sesuatu yang jelek kalau mengolahnya benar bisa juga
menjadi baik. Sampah pun ketika mengolahnya benar, bisa didaurulang menjadi
sesuatu yang berguna.
Tengoklah ibu-ibu yang berjualan
dipasar tradisional, betapa waktu bagi mereka adalah bagaimana menjajakan,
tawar-menawar dan ketelatenan berkompromi dengan keadaan. Ketangguhan mereka,
mencari nafkah untuk keluarganya, anak-anaknya dirumah dan yang disekolah.
Tanpa menuntut pamrih apa-apa, selain kemajuan, kemandirian si anak kelak,
keberhasilan dan kesuksesan anak di kemudian hari. Andaikan itu semua pun nantinya
tak mampu diwujudkan si anak, si ibu juga tak terlalu mempermasalahkan, karena
ia ibu, ia paling tahu mengelola batinnya untuk anak-anaknya.
Belum lagi para pekerja bangunan,
seperti saat kukuping dialognya dengan teman-temannya, “wah kerjo saben ndino,
duite yo entek terus, durung suwe bar ngijing makame bapakku”, bagi dia mencari
nafkah adalah bagaimana nantinya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, ya orang
tua, ya anak istrinya, meski ia harus menjalani kelelahan tiap hari, ia rela.
Dan semua itu bukan perkara dapat
banyak atau sedikit perolehan nafkahnya. Tetapi bagaimana juga
membelanjakannya, untuk siapa. Itu semua yang memproduksi kemuliaan seseorang,
yang memproduksi kebahagiaan seorang bapak dan seorang ibu. Kebahagiaan ketika
mampu berkontribusi, memberi manfaat bagi orang-orang disekitarnya, memberi
secercah cahaya bagi keluarga dan sedulur-sedulurnya. Dari situ pula manusia
akan tumbuh derajat kemanusiaannya.
Terhadap hal yang berpotensi
membahagiakan manusia kadang enggan melakukan, tetapi terhadap hal yang
mencelakakan terkadang malah dengan penuh semangat menjalankan. Maka dari itu
manusia harus mau terus belajar, agar mampu mengendalikan dirinya, agar mampu
menjaga dan melindungi diri dari batas-batas antara keselamatan dengan kecelakaan.
Update akal harus tiap hari dilakukan, bagaimana berpikir dengan cara berpikir
yang benar, tidak asal ngawur, waton mlaku tanpa pertimbangan-pertimbangan
meski tidak bagus juga kalau terlalu banyak pertimbangan, jadi pokoknya tahulah
titik tengah, pahamlah mana titik seimbangnya sikap. Sehingga diharapkan dapat
benar-benar meniti sirotol mustakim, bukan menuju ke neraka pelan-pelan.
Perjuangan untuk itu semua memang
berlangsungnya setiap waktu, detik demi detik, diharuskan untuk terus waspada.
Setiap sinyal yang menjerumuskan ke keburukan segera terpantau dan terdeteksi,
sehingga bisa dengan cepat diantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuknya.
Tidak sampai benih keburukan kita biarkan tumbuh besar, sebab semakin besar ia
makin susah dikendalikan, bahkan kalau kita tak kuat kita akan termakan oleh
keburukan kita sendiri. Jadi begitu ada yang potensial mengajak ke keburukan
harus terbaca, kita hambat pertumbuhannya, kita cegah proses beranak-pinaknya.
Kalau sudah terlanjur berkembang, diri kita juga yang akan direpotkan.
Lantas kita mesti juga sering-sering
beristighfar, karena istighfar itu dibutuhkan terus menerus, salah atau tidak
salah. Sebagaimana Kenjeng Nabi yang saban hari tetap setiap beristighfar
padahal dia maksum. Istighfar semacam metode untuk menjaga diri, agar terjaga,
juga agar diberi kemudahan-kemudahan di dalam memahami sesuatu. Astaghfirullah
hal ‘adzim, memohon ampun atas kesalahan yang sudah dan akan kita perbuat.
Dalam belajar, salah itu biasa, dari kesalahan kita dapat pelajaran dan dari
pelajaran itu kelak bisa kita jadikan pegangan.
Pencarian ilmu dengan beningnya batin
memang ada keterkaitan erat. Jadi kalau seseorang belajarnya rajin kok tidak
tambah kebaikan pribadinya, kesalehan sosialnya maka dipertanyakan cara
belajarnya. Pasti ada yang salah disana. Semakin pintar seseorang mestinya
semakin toleran, semakin mau menampung banyak orang. Semakin cerdas seseorang
mestinya semakin tahu diri, tidak mau menyusahkan orang lain. Kebaikan
seseorang berjalan linier dengan tingkat belajar seseorang. Makin intens
belajar makin baik perilakunya. Ada proses amal dari ilmu yang sudah diperoleh,
mengusung kesejahteraan bersama, bukan hanya pemenuhan kebutuhan pribadi
semata. Serve to othernya jalan lancar seiring bertambahnya pengetahuan. Ilmunya
benar-benar mampu menjadi berkah yang menolong orang-orang disekitarnya.