Cari Blog Ini

Selasa, 16 Juli 2013

Ujung Kebenaran

Geliat Perubahan
Perubahan itu tak hanya perlu tapi wajib. Tak sekedar berubah, kalau sekedarnya semua pasti berubah. Yang dimaksud berubah adalah adanya kesadaran arah, mana kebaikan mana keburukan, mana kebangkitan mana keterpurukan sehingga perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang ada ujungnya, yang tidak ngoyoworo waton berubah.
Kalau memang hidup ini cukup bahagia thok maka tak akan ada cerita dimana seseorang mati karena membela nilai tertentu, mempertahankan keyakinannya, sebab manusia sanggup hidup diatas bahagia, manusia sanggup menggapai kesejatian, dan untuk itu manusia rela menggantinya dengan jiwa dan raganya. Manusia memang merindu segala sesuatu secara sebenar-benarnya, kangen untuk menyentuh kebenaran pada lapisan terdalam, kebenaran yang terdekat dengan sumbernya kebenaran.
Kebenaran disandingkan dengan kebaikan, serta disandingkan dengan keindahan, diatasnya ada kemuliaan. Manusia hidup harus mengejar jalan kemuliaan, margo mulyo. Siapa yang mengharuskan, tak lain ruh masing-masing manusia. Kebutuhan ruh adalah menggapai kemuliaan. Karena ruh akan sangat malu, kelak, sehingga dengan kesadarannya sendiri minta dihukum sama Allah untuk dimasukkan di neraka untuk mengembalikan kembali kemuliaannya. Ruh itu mulia, karena langsung ditiupkan oleh Allah sendiri, karena menjadi rahasiaNYA.
Setiap saat manusia berperang dengan dirinya sendiri, mengatasi kemauan dirinya yang tak jarang malah berpotensi dan memiliki kecenderungan justru menghancurkan dirinya sendiri. Setiap waktu manusia bergerilnya mengendalikan dirinya sendiri untuk tak menabrak, apa yang menjadi fatwa hatinya sendiri. Setiap detik manusia diuji kewaspadaannya untuk tetap setia bertahan atau malah jebol melampiaskan.  Manusia menjalani ujian demi ujian saban harinya. Sampai lulus menjadi manusia.
Manusia selalu perlu diruwat, bukan hanya untuk membuang sial, tetapi juga meruwat diri sendiri agar selalu terhindar dari bencana besar namun juga bahkan dari yang paling halus, terhindar dari pikiran-pikiran yang mengarah kepada kerusakan. Meruwat diri dengan selalu memelihara kesadaran menemu kebenaran, menguak lapis-lapis kebenaran, sehingga tidak mandeg daya juangnya, makin kreatif perjuangannya.

Kuncinya Iqro
Kondisi manusia seringkali memaksanya untuk mau tidak mau harus belajar sesuatu. Bisa saja tiba-tiba seseorang dihadapkan pada permasalahan yang pada saat tertentu membuatnya pusing tujuh keliling, bingung gak ketulung, kacau balau yang biking ngegalau. Kalau sudah seperti itu mau tidak mau usaha pemecahan harus segera dicari dan ditemukan. Kecuali seseorang memang memiliki daya tahan batin yang kuat dan tangguh, untuk tetap membiarkan masalah yang ada disekitarnya tetap menjadi masalah bahkan tumbuh menjadi masalah yang lebih besar dari waktu ke waktu.
Tuhan punya multi-skenario kepada hamba-hambaNYA untuk “mendidik” dan memberi kurikulum unik bagi setiap orang. Dalam kurikulum tersebut, seseorang diuji, ditantang, dihadapkan pada sesuatu yang pasti tak melebihi kapasitas dan kemampuannya. Namun begitu pada masing-masing seringkali bahkan selalu ditemukan dengan persoalan yang seolah-olah tak bisa diselesaikan. Padahal ya memang begitu, asalkan seseorang yang sedang diuji mau dan bersedia mencari jalan keluar, maka akan ketemu. Sebab saat ujian diberikan bersamaan dengan itu diberikan jalan keluarnya.
Jadi jangan kaget dengan rintangan-rintangan, jangan heran dengan halangan-halangan yang kadang-kadang atau malah sering menghadang langkah perjalanan kita sebagai manusia. Ya memang begitu, manusia hidup tujuannya memang menaikkan derajatnya, sehingga tidak melorot dan anjlok ke derajat asfalasafilin atau lebih hina, lebih rendah dari binatang. Justru dengan segala jenis ujian manusia dibantu untuk segera menjadi ahsanitakwim, sebaik-baik ciptaan, untuk menjadi manusia yang insan kamil, lebih mulia dari malaikat sekalipun.
Iqro dan belajar, itu kuncinya. Tidak berhenti berproses memungut ilmu-ilmu yang berserakan. Tidak menyerah mengukir di hati asma Allah dan kekasih tercinta Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Segitiga cinta antara kita, manusia dengan Allah dan Rasulullah. Sebuah bangunan kuat di dalam diri kita, yang senantiasa mengawal, mengiringi setiap derap langkah proses kita. Tanpa itu semua maka keberadaan kita di dunia, sehebat apapun, maka sama saja tak berarti apa-apa, sebesar apapun capaian kita.

Dunia dalam Genggaman
Banyak hal yang tidak kita sukai, namun malah sangat memberi manfaat bagi perjalanan kita. Sebaliknya, banyak hal yang kita sukai, namun tetap kita lakukan, rutin, padahal sesuatu itu tidak bermanfaat bahkan merugikan diri kita. Sesuatu yang baik akan menghasilkan hal yang baik ketika mengolahnya benar. Beras, benar mengolahnya makan akan jadi nasi yang pulen, nikmat. Sesuatu yang jelek kalau mengolahnya benar bisa juga menjadi baik. Sampah pun ketika mengolahnya benar, bisa didaurulang menjadi sesuatu yang berguna.
Tengoklah ibu-ibu yang berjualan dipasar tradisional, betapa waktu bagi mereka adalah bagaimana menjajakan, tawar-menawar dan ketelatenan berkompromi dengan keadaan. Ketangguhan mereka, mencari nafkah untuk keluarganya, anak-anaknya dirumah dan yang disekolah. Tanpa menuntut pamrih apa-apa, selain kemajuan, kemandirian si anak kelak, keberhasilan dan kesuksesan anak di kemudian hari. Andaikan itu semua pun nantinya tak mampu diwujudkan si anak, si ibu juga tak terlalu mempermasalahkan, karena ia ibu, ia paling tahu mengelola batinnya untuk anak-anaknya.  
Belum lagi para pekerja bangunan, seperti saat kukuping dialognya dengan teman-temannya, “wah kerjo saben ndino, duite yo entek terus, durung suwe bar ngijing makame bapakku”, bagi dia mencari nafkah adalah bagaimana nantinya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, ya orang tua, ya anak istrinya, meski ia harus menjalani kelelahan tiap hari, ia rela.
Dan semua itu bukan perkara dapat banyak atau sedikit perolehan nafkahnya. Tetapi bagaimana juga membelanjakannya, untuk siapa. Itu semua yang memproduksi kemuliaan seseorang, yang memproduksi kebahagiaan seorang bapak dan seorang ibu. Kebahagiaan ketika mampu berkontribusi, memberi manfaat bagi orang-orang disekitarnya, memberi secercah cahaya bagi keluarga dan sedulur-sedulurnya. Dari situ pula manusia akan tumbuh derajat kemanusiaannya.
Terhadap hal yang berpotensi membahagiakan manusia kadang enggan melakukan, tetapi terhadap hal yang mencelakakan terkadang malah dengan penuh semangat menjalankan. Maka dari itu manusia harus mau terus belajar, agar mampu mengendalikan dirinya, agar mampu menjaga dan melindungi diri dari batas-batas antara keselamatan dengan kecelakaan. Update akal harus tiap hari dilakukan, bagaimana berpikir dengan cara berpikir yang benar, tidak asal ngawur, waton mlaku tanpa pertimbangan-pertimbangan meski tidak bagus juga kalau terlalu banyak pertimbangan, jadi pokoknya tahulah titik tengah, pahamlah mana titik seimbangnya sikap. Sehingga diharapkan dapat benar-benar meniti sirotol mustakim, bukan menuju ke neraka pelan-pelan.
Perjuangan untuk itu semua memang berlangsungnya setiap waktu, detik demi detik, diharuskan untuk terus waspada. Setiap sinyal yang menjerumuskan ke keburukan segera terpantau dan terdeteksi, sehingga bisa dengan cepat diantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuknya. Tidak sampai benih keburukan kita biarkan tumbuh besar, sebab semakin besar ia makin susah dikendalikan, bahkan kalau kita tak kuat kita akan termakan oleh keburukan kita sendiri. Jadi begitu ada yang potensial mengajak ke keburukan harus terbaca, kita hambat pertumbuhannya, kita cegah proses beranak-pinaknya. Kalau sudah terlanjur berkembang, diri kita juga yang akan direpotkan.
Lantas kita mesti juga sering-sering beristighfar, karena istighfar itu dibutuhkan terus menerus, salah atau tidak salah. Sebagaimana Kenjeng Nabi yang saban hari tetap setiap beristighfar padahal dia maksum. Istighfar semacam metode untuk menjaga diri, agar terjaga, juga agar diberi kemudahan-kemudahan di dalam memahami sesuatu. Astaghfirullah hal ‘adzim, memohon ampun atas kesalahan yang sudah dan akan kita perbuat. Dalam belajar, salah itu biasa, dari kesalahan kita dapat pelajaran dan dari pelajaran itu kelak bisa kita jadikan pegangan.

Pencarian ilmu dengan beningnya batin memang ada keterkaitan erat. Jadi kalau seseorang belajarnya rajin kok tidak tambah kebaikan pribadinya, kesalehan sosialnya maka dipertanyakan cara belajarnya. Pasti ada yang salah disana. Semakin pintar seseorang mestinya semakin toleran, semakin mau menampung banyak orang. Semakin cerdas seseorang mestinya semakin tahu diri, tidak mau menyusahkan orang lain. Kebaikan seseorang berjalan linier dengan tingkat belajar seseorang. Makin intens belajar makin baik perilakunya. Ada proses amal dari ilmu yang sudah diperoleh, mengusung kesejahteraan bersama, bukan hanya pemenuhan kebutuhan pribadi semata. Serve to othernya jalan lancar seiring bertambahnya pengetahuan. Ilmunya benar-benar mampu menjadi berkah yang menolong orang-orang disekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar